Seminggu kemarin.
Perayaan Hari Kartini.
Independen Film Surabaya bekerja sama dengan Kolektif mengadakan screening Film berjudul POTONGAN di Institut Français d'Indonésie (IFI). Kebetulan, saya diminta hadir menjadi salah satu pembicara untuk memberikan komentar dari sudut pandang pendidikan dan psikologi.
Masyarakat umum mungkin merasa awam dengan film ini, sangatlah wajar mengingat jalur distribusinya menggunakan jalur independen, bukan jalur komersial melalui gedung bioskop. Bersyukur meski berbayar dan jenis filmnya bukan genre popular cinta (menye-menye), ternyata cukup banyak penonton yang hadir malam itu. Sekitar 46 penonton menikmati film dokumenter karya salah satu sutradara muda berbakat, Chairun Nissa dan diproduseri oleh Meiske Taurisia.
Dan ini adalah catatan kecil yang saya buat setelah menonton film tersebut.
Film POTONGAN adalah sebuah film dokumentasi yang mengangkat dunia perfilman nasional. Tentang undang-undang perfilman, kinerja Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia, dan perjuangan teman-teman pelaku industri perfilman mengkritisi kinerja LSF. Yang menarik, film ini menampilkan cuplikan film yang tidak pernah beredar di masyarakat. Cuplikan film yang merupakan bagian-bagian yang…DIPOTONG oleh LSF!
Alasan pemotongannya berbeda-beda untuk setiap film, seperti misalnya alasan politik, sosial, atau budaya. Bahasa gampangnya, bagian tersebut DIANGGAP terlalu “VULGAR” (blak-blakan mengangkat isu masyarakat) dan tidak layak ditonton oleh masyarakat kita.
Berbeda dengan pendapat LSF, buat saya potongan-potongan itu justru berusaha jujur menunjukkan realitas kehidupan masyarakat kita saat ini. Seperti misalnya realitas isu ras, agama, pergaulan dan gaya hidup masyarakat yang beragam, dan kasus-kasus hukum atau politik yang menyinggung pihak-pihak tertentu. Isu-isu sensitif yang sangat dekat dalam keseharian, tapi dianggap tabu untuk diperbincangkan dan diambil sebagai sebuah pelajaran. SAYANGNYA!
Perbedaan pemikiran antara pembuat dan pengambil kebijakan dengan para praktisi perfilman ditampilkan sepanjang film ini. Sebuah masalah yang sudah seharusnya segera diselesaikan, dengan harapan nantinya masyarakat bisa mendapatkan tontonan yang lebih berkualitas dan mendidik. Tidak hanya dicekoki film-film dengan genre remaja romantis yang menjual mimpi, komedi yang tragis atau horor yang erotis seperti yang terjadi saat ini.
.
Bagian film POTONGAN yang begitu mengena untuk saya adalah saat ditampilkan cuplikan film Blind Pig Who Wants to Fly (2008). Sebuah film yang bertema konflik 1998, saat terjadi penyerangan, penganiayaan bahkan pemerkosaan yang menimpa ras dan agama tertentu di Jakarta (dan beberapa kota lainnya di Indonesia). Suatu peristiwa yang sampai saat ini dikubur dalam-dalam dan tidak pernah dibicarakan secara terbuka dan diusut tuntas. Film ini mengingatkan saya pada seseorang yang saya kenal baik, ikut merasakan kondisi menegangkan yang dialaminya saat itu. Kondisi saat dia sedang bersekolah, dipulangkan lebih cepat, terpisah dari keluarganya dan baru bertemu di bandara, harus segera angkat kaki dari negeri tempatnya lahir karena keselamatan hidupnya dan keluarga terancam. Bukan dia yang ingin pergi tapi kondisi yang memaksanya pergi. Sebuah pengalaman yang sangat traumatis, namun bersyukur akhirnya dia dan keluarga bisa kembali dan turut membangun negeri ini. Masih ada beberapa cerita menyedihkan 1998 yang pernah saya dengar dari teman-teman yang mengalami langsung peristiwa tersebut. Isu inilah yang diangkat dalam Blind Pig Who Wants to Fly. Film yang tidak diloloskan oleh LSF dan pastinya tidak pernah disaksikan oleh masyarakat kita.
Pertanyaannya, haruskah film-film seperti ini dipotong atau tidak diloloskan? Apa alasannya?
Agar kita bisa tetap menutup mata akan kebenaran yang menyakitkan?
Atau karena isunya terlalu sensitif dan diduga dapat memicu reaksi berlebihan dari masyarakat?
Hmmm, atau untuk menjaga kepentingan-kepentingan tertentu yang terlibat saat itu?
Yang jelas sampai saat ini masyarakat kita tanpa sadar hanya disodori film-film yang menurut beberapa golongan AMAN. Iya, aman dan mudah untuk dijual.
FILM dan LITERASI
Literacy:
The ability to read and write
Knowledge that relates to a specified subject
(Dictionary)
...........literacy involves a continuum of learning in enabling individuals to achieve their goals, to develop their knowledge and potential and to participate fully in their community and wider society
(UNESCO)
The level of understanding of a film, the ability to be conscious and curious in the choice of films; the competence to critically watch a film and to analyze its content, cinematography and technical aspects............
(Bradford Film Literacy, Unesco, Screening Literacy, The 2011 European Commission on film education)
Dari beberapa penjelasan tersebut saya rasa sudah cukup jelas, bahwa film mempunyai peranan untuk membangun kecerdasan masyarakat (literasi) suatu negara. Meski tentu saja film tidak serta merta menjadi satu-satunya variabel yang mempengaruhi literasi suatu bangsa.
Film sesungguhnya bisa dijadikan sebagai sebuah sarana untuk membangun peradaban kebudayaan dan pola pikir masyarakat kita. Sudahkah masyarakat kita siap menerima film-film berbagai genre yang mengangkat isu sensitif? Justru yang perlu kita sadari bersama, melalui film kita dapat membangun budaya berpikir kritis, meningkatkan kedewasaan dan kecerdasan masyarakat kita menghadapi isu-isu yang berkembang.
Film sesungguhnya adalah sarana belajar. Membatasi film artinya membatasi sarana belajar bagi masyarakat. Bukankah masih banyak upaya-upaya lain yang bisa dilakukan untuk membangun literasi masayarakat selain dengan memotong bagian film?
KLASIFIKASI FILM
Saya mengamini komentar Dian Sastro dalam POTONGAN untuk menanggapi pertanyaan wartawan tentang kemungkinan anak-anak akan mendapatkan efek negatif dari film tanpa sensor. Dian dengan tegas menjawab bahwa tanggung jawab untuk mendidik anak-anak adalah tanggung jawab orang tua bukan LSF. Orang tualah yang harus bisa mengontrol agar anak-anaknya tidak melihat tontonan yang selayaknya memang bukan untuk mereka. Namun selama ini malah sebaliknya, justru banyak orang tua dengan cuek dan gampangnya menemani atau memberikan ijin kepada anak-anak mereka menonton film yang jelas-jelas sangat tidak layak untuk mereka tonton. Halo, para orang tua! Bisakah sedikit lebih cerdas?!
Solusinya, memang sudah saatnya industri perfilman kita dan LSF berbenah dan berubah. Salah satunya dengan menerapkan klasifikasi film yang lebih ketat dengan mempertimbangkan aspek psikologi kesesuaian umur dan informasi yang akan diterima penonton sebuah film. Klasifikasi yang dimaksud disini bukan hanya klasifikasi abal-abal (kalian akan tahu kenapa saya sebut abal-abal apabila kalian menonton film ini). Potong memotong bagian film atau tidak meloloskannya, bukanlah keputusan yang tepat untuk membangun masyarakat cerdas. Hal tersebut juga sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini yang mudah bagi siapa saja untuk mengakses informasi dan berbagai tontonan melalui internet. Lantas, mengapa kita tidak mulai mengupayakan agar masyarakat lebih siap dan mandiri dalam memfilter informasi yang mereka dapatkan (self-censorship)? Lebih baik terlambat diupayakan daripada tidak pernah dilakukan, bukan?!
Ijinkan masyarakat untuk belajar mengembangkan literasi mereka melalui film-film yang topiknya lebih beragam. Ijinkan film menjadi sarana pendidikan masyarakat yang berkualitas dan tidak hanya sekedar mengejar sisi komersial semata. Mari membangun masyarakat yang lebih cerdas, kritis dan berbudaya. Hidup perfilman Indonesia!
Perayaan Hari Kartini.
Independen Film Surabaya bekerja sama dengan Kolektif mengadakan screening Film berjudul POTONGAN di Institut Français d'Indonésie (IFI). Kebetulan, saya diminta hadir menjadi salah satu pembicara untuk memberikan komentar dari sudut pandang pendidikan dan psikologi.
Masyarakat umum mungkin merasa awam dengan film ini, sangatlah wajar mengingat jalur distribusinya menggunakan jalur independen, bukan jalur komersial melalui gedung bioskop. Bersyukur meski berbayar dan jenis filmnya bukan genre popular cinta (menye-menye), ternyata cukup banyak penonton yang hadir malam itu. Sekitar 46 penonton menikmati film dokumenter karya salah satu sutradara muda berbakat, Chairun Nissa dan diproduseri oleh Meiske Taurisia.
Dan ini adalah catatan kecil yang saya buat setelah menonton film tersebut.
Film POTONGAN adalah sebuah film dokumentasi yang mengangkat dunia perfilman nasional. Tentang undang-undang perfilman, kinerja Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia, dan perjuangan teman-teman pelaku industri perfilman mengkritisi kinerja LSF. Yang menarik, film ini menampilkan cuplikan film yang tidak pernah beredar di masyarakat. Cuplikan film yang merupakan bagian-bagian yang…DIPOTONG oleh LSF!
Alasan pemotongannya berbeda-beda untuk setiap film, seperti misalnya alasan politik, sosial, atau budaya. Bahasa gampangnya, bagian tersebut DIANGGAP terlalu “VULGAR” (blak-blakan mengangkat isu masyarakat) dan tidak layak ditonton oleh masyarakat kita.
Berbeda dengan pendapat LSF, buat saya potongan-potongan itu justru berusaha jujur menunjukkan realitas kehidupan masyarakat kita saat ini. Seperti misalnya realitas isu ras, agama, pergaulan dan gaya hidup masyarakat yang beragam, dan kasus-kasus hukum atau politik yang menyinggung pihak-pihak tertentu. Isu-isu sensitif yang sangat dekat dalam keseharian, tapi dianggap tabu untuk diperbincangkan dan diambil sebagai sebuah pelajaran. SAYANGNYA!
Perbedaan pemikiran antara pembuat dan pengambil kebijakan dengan para praktisi perfilman ditampilkan sepanjang film ini. Sebuah masalah yang sudah seharusnya segera diselesaikan, dengan harapan nantinya masyarakat bisa mendapatkan tontonan yang lebih berkualitas dan mendidik. Tidak hanya dicekoki film-film dengan genre remaja romantis yang menjual mimpi, komedi yang tragis atau horor yang erotis seperti yang terjadi saat ini.
.
Bagian film POTONGAN yang begitu mengena untuk saya adalah saat ditampilkan cuplikan film Blind Pig Who Wants to Fly (2008). Sebuah film yang bertema konflik 1998, saat terjadi penyerangan, penganiayaan bahkan pemerkosaan yang menimpa ras dan agama tertentu di Jakarta (dan beberapa kota lainnya di Indonesia). Suatu peristiwa yang sampai saat ini dikubur dalam-dalam dan tidak pernah dibicarakan secara terbuka dan diusut tuntas. Film ini mengingatkan saya pada seseorang yang saya kenal baik, ikut merasakan kondisi menegangkan yang dialaminya saat itu. Kondisi saat dia sedang bersekolah, dipulangkan lebih cepat, terpisah dari keluarganya dan baru bertemu di bandara, harus segera angkat kaki dari negeri tempatnya lahir karena keselamatan hidupnya dan keluarga terancam. Bukan dia yang ingin pergi tapi kondisi yang memaksanya pergi. Sebuah pengalaman yang sangat traumatis, namun bersyukur akhirnya dia dan keluarga bisa kembali dan turut membangun negeri ini. Masih ada beberapa cerita menyedihkan 1998 yang pernah saya dengar dari teman-teman yang mengalami langsung peristiwa tersebut. Isu inilah yang diangkat dalam Blind Pig Who Wants to Fly. Film yang tidak diloloskan oleh LSF dan pastinya tidak pernah disaksikan oleh masyarakat kita.
Pertanyaannya, haruskah film-film seperti ini dipotong atau tidak diloloskan? Apa alasannya?
Agar kita bisa tetap menutup mata akan kebenaran yang menyakitkan?
Atau karena isunya terlalu sensitif dan diduga dapat memicu reaksi berlebihan dari masyarakat?
Hmmm, atau untuk menjaga kepentingan-kepentingan tertentu yang terlibat saat itu?
Yang jelas sampai saat ini masyarakat kita tanpa sadar hanya disodori film-film yang menurut beberapa golongan AMAN. Iya, aman dan mudah untuk dijual.
FILM dan LITERASI
Literacy:
The ability to read and write
Knowledge that relates to a specified subject
(Dictionary)
...........literacy involves a continuum of learning in enabling individuals to achieve their goals, to develop their knowledge and potential and to participate fully in their community and wider society
(UNESCO)
The level of understanding of a film, the ability to be conscious and curious in the choice of films; the competence to critically watch a film and to analyze its content, cinematography and technical aspects............
(Bradford Film Literacy, Unesco, Screening Literacy, The 2011 European Commission on film education)
Dari beberapa penjelasan tersebut saya rasa sudah cukup jelas, bahwa film mempunyai peranan untuk membangun kecerdasan masyarakat (literasi) suatu negara. Meski tentu saja film tidak serta merta menjadi satu-satunya variabel yang mempengaruhi literasi suatu bangsa.
Film sesungguhnya bisa dijadikan sebagai sebuah sarana untuk membangun peradaban kebudayaan dan pola pikir masyarakat kita. Sudahkah masyarakat kita siap menerima film-film berbagai genre yang mengangkat isu sensitif? Justru yang perlu kita sadari bersama, melalui film kita dapat membangun budaya berpikir kritis, meningkatkan kedewasaan dan kecerdasan masyarakat kita menghadapi isu-isu yang berkembang.
Film sesungguhnya adalah sarana belajar. Membatasi film artinya membatasi sarana belajar bagi masyarakat. Bukankah masih banyak upaya-upaya lain yang bisa dilakukan untuk membangun literasi masayarakat selain dengan memotong bagian film?
KLASIFIKASI FILM
Saya mengamini komentar Dian Sastro dalam POTONGAN untuk menanggapi pertanyaan wartawan tentang kemungkinan anak-anak akan mendapatkan efek negatif dari film tanpa sensor. Dian dengan tegas menjawab bahwa tanggung jawab untuk mendidik anak-anak adalah tanggung jawab orang tua bukan LSF. Orang tualah yang harus bisa mengontrol agar anak-anaknya tidak melihat tontonan yang selayaknya memang bukan untuk mereka. Namun selama ini malah sebaliknya, justru banyak orang tua dengan cuek dan gampangnya menemani atau memberikan ijin kepada anak-anak mereka menonton film yang jelas-jelas sangat tidak layak untuk mereka tonton. Halo, para orang tua! Bisakah sedikit lebih cerdas?!
Solusinya, memang sudah saatnya industri perfilman kita dan LSF berbenah dan berubah. Salah satunya dengan menerapkan klasifikasi film yang lebih ketat dengan mempertimbangkan aspek psikologi kesesuaian umur dan informasi yang akan diterima penonton sebuah film. Klasifikasi yang dimaksud disini bukan hanya klasifikasi abal-abal (kalian akan tahu kenapa saya sebut abal-abal apabila kalian menonton film ini). Potong memotong bagian film atau tidak meloloskannya, bukanlah keputusan yang tepat untuk membangun masyarakat cerdas. Hal tersebut juga sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini yang mudah bagi siapa saja untuk mengakses informasi dan berbagai tontonan melalui internet. Lantas, mengapa kita tidak mulai mengupayakan agar masyarakat lebih siap dan mandiri dalam memfilter informasi yang mereka dapatkan (self-censorship)? Lebih baik terlambat diupayakan daripada tidak pernah dilakukan, bukan?!
Ijinkan masyarakat untuk belajar mengembangkan literasi mereka melalui film-film yang topiknya lebih beragam. Ijinkan film menjadi sarana pendidikan masyarakat yang berkualitas dan tidak hanya sekedar mengejar sisi komersial semata. Mari membangun masyarakat yang lebih cerdas, kritis dan berbudaya. Hidup perfilman Indonesia!