2 Mei, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, selalu diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Ragam peringatannya juga tidak jauh bergeser seputar upacara bendera, lomba-lomba, diskusi publik, demo guru honorer, seminar, dll. Tapi tahun ini saya pribadi memutuskan merenung dan menuliskan apa yang ada dipikiran saya.
PENDIDIKAN.
Kata ini memicu otak berpikir keras tentang maknanya untuk saya yang seorang GURU.
Sudahkah saya menjadi guru yang baik bagi murid-murid saya? Guru yang BAIK atau guru yang IDEAL? Sebenarnya guru yang baik atau ideal itu seperti apa?
Entah kenapa ketika memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu yang terbayang adalah murid-murid saya yang (katanya) slow learner atau berkemampuan lain. Dan saya merasa sedih. Perang batin selalu terjadi ketika harus mendidik anak-anak seperti ini. Kenapa? Menurut saya bedanya orang yang bisa dengan tidak bisa itu hanya terletak pada seringnya seseorang mengerjakan sesuatu. Contoh: sopir truk gandeng, awalnya tidak bisa dan sulit, tapi karena setiap hari melakukan akhirnya bisa bahkan mahir. Demikian pula anak-anak ini. Saya yakin tidak ada anak yang tidak bisa, yang ada hanyalah anak yang butuh mencoba lebih banyak daripada teman-temannya yang lain. Ada anak yang 1-2 kali latihan sudah mahir, tapi ada anak yang butuh diulang sampai 10 kali baru paham (itupun semoga tidak lupa sesudahnya). Mereka unik. Ada juga anak-anak yang mengagumkan di pelajaran musik, olah raga, kesenian. Tapi mereka lemah di bidang lain yang lebih penting (katanya!!! benarkah???) seperti matematika atau IPA. Mereka juga unik. Lantas perang batinnya dimana? Perang batinnya ketika saya harus menjadi juri antara SISTEM PENDIDIKAN vs. ANAK UNIK. Saya paham dengan kondisi mereka. Tapi saya juga menyadari bahwa saya ada dalam suatu sistem yang tidak mentolerir anak-anak semacam ini. Dan saya, gurunya, harus memutuskan apakah mereka GAGAL atau BERHASIL sesuai standar sistem yang ada. Anak-anak yang unik ini harus distandarkan, harus sama dengan temannya yang lain. How sad is that? :(
Makin ‘ngenes’ (sedih sekali) ketika tahu di Finlandia sistemnya berbeda. Murid tidak diuji (dites). Mereka percaya bahwa semua murid bisa menguasai suatu materi. Hanya saja sebagian membutuhkan dukungan lebih banyak dari teman-temannya. Makanya mereka ada yang disebut special teacher. Guru-guru yang spesialisasinya memang membantu anak-anak unik ini. Tanpa bermaksud banyak mengeluh (karena tidak akan menyelesaikan masalah), memang masih banyak sekali PR untuk sistem pendidikan nasional kita. Diakhir tulisan ini ijinkan saya bermimpi. Mimpi tentang suatu sistem pendidikan yang menghargai keunikan masing-masing individu, seunik sidik jari masing-masing dari kita.
Note: Titipan renungan untuk kita semua dari seorang teman diskusi yang luar biasa :)
Masih perlukah Hardiknas diperingati setiap 2 Mei, jika yang kita lakukan selama ini lebih pada mengajarkan hafalan text book daripada mendidik baik melalui teladan baik? Karena roh pendidikan yang diimpikan Ki Hajar Dewantara adalah TULODHO, MANGUN KARSA, dan HANDAYANI. Apakah sisdiknas bangsa memberi teladan, membangun mental spirit berjuang (karsa) dan memberdayakan (handayani)
PENDIDIKAN.
Kata ini memicu otak berpikir keras tentang maknanya untuk saya yang seorang GURU.
Sudahkah saya menjadi guru yang baik bagi murid-murid saya? Guru yang BAIK atau guru yang IDEAL? Sebenarnya guru yang baik atau ideal itu seperti apa?
Entah kenapa ketika memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu yang terbayang adalah murid-murid saya yang (katanya) slow learner atau berkemampuan lain. Dan saya merasa sedih. Perang batin selalu terjadi ketika harus mendidik anak-anak seperti ini. Kenapa? Menurut saya bedanya orang yang bisa dengan tidak bisa itu hanya terletak pada seringnya seseorang mengerjakan sesuatu. Contoh: sopir truk gandeng, awalnya tidak bisa dan sulit, tapi karena setiap hari melakukan akhirnya bisa bahkan mahir. Demikian pula anak-anak ini. Saya yakin tidak ada anak yang tidak bisa, yang ada hanyalah anak yang butuh mencoba lebih banyak daripada teman-temannya yang lain. Ada anak yang 1-2 kali latihan sudah mahir, tapi ada anak yang butuh diulang sampai 10 kali baru paham (itupun semoga tidak lupa sesudahnya). Mereka unik. Ada juga anak-anak yang mengagumkan di pelajaran musik, olah raga, kesenian. Tapi mereka lemah di bidang lain yang lebih penting (katanya!!! benarkah???) seperti matematika atau IPA. Mereka juga unik. Lantas perang batinnya dimana? Perang batinnya ketika saya harus menjadi juri antara SISTEM PENDIDIKAN vs. ANAK UNIK. Saya paham dengan kondisi mereka. Tapi saya juga menyadari bahwa saya ada dalam suatu sistem yang tidak mentolerir anak-anak semacam ini. Dan saya, gurunya, harus memutuskan apakah mereka GAGAL atau BERHASIL sesuai standar sistem yang ada. Anak-anak yang unik ini harus distandarkan, harus sama dengan temannya yang lain. How sad is that? :(
Makin ‘ngenes’ (sedih sekali) ketika tahu di Finlandia sistemnya berbeda. Murid tidak diuji (dites). Mereka percaya bahwa semua murid bisa menguasai suatu materi. Hanya saja sebagian membutuhkan dukungan lebih banyak dari teman-temannya. Makanya mereka ada yang disebut special teacher. Guru-guru yang spesialisasinya memang membantu anak-anak unik ini. Tanpa bermaksud banyak mengeluh (karena tidak akan menyelesaikan masalah), memang masih banyak sekali PR untuk sistem pendidikan nasional kita. Diakhir tulisan ini ijinkan saya bermimpi. Mimpi tentang suatu sistem pendidikan yang menghargai keunikan masing-masing individu, seunik sidik jari masing-masing dari kita.
Note: Titipan renungan untuk kita semua dari seorang teman diskusi yang luar biasa :)
Masih perlukah Hardiknas diperingati setiap 2 Mei, jika yang kita lakukan selama ini lebih pada mengajarkan hafalan text book daripada mendidik baik melalui teladan baik? Karena roh pendidikan yang diimpikan Ki Hajar Dewantara adalah TULODHO, MANGUN KARSA, dan HANDAYANI. Apakah sisdiknas bangsa memberi teladan, membangun mental spirit berjuang (karsa) dan memberdayakan (handayani)