Pada pembukaan Parenting Education dalam rangka Hari Anak Nasional 2013, Fasli Jalal, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan berdasarkan asumsi PBB ada sekitar 4,2 juta anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia. Angka yang tidak bisa dikatakan sedikit, meski masih tergolong jumlah yang minoritas di negara berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa. Sayangnya dari sekian juta ABK, menurut data sementara tahun 2013 yang disampaikan oleh Mudjito, Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PPK-LK), Ditjen Dikdas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hanya 130.000 ABK yang telah menikmati bangku sekolah. Lalu, bagaimana dengan nasib jutaan ABK lainnya?
Sebenarnya hukum di Indonesia telah jelas mengatur mengenai pendidikan ABK yang dituangkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, baik yang memiliki kelaianan fisik, emosional, mental, intelektual atau sosial, berhak memperoleh pendidikan khusus. Namun tidak dapat dipungkiri dalam pelaksanaannya berbagai tantangan timbul, sehingga masih banyak ABK tidak berkesempatan untuk mengenyam pendidikan yang sejatinya menjadi hak mereka.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai tantangan pendidikan ABK, ada baiknya perlu kita bahas sekilas mengenai definisi ABK. Menurut John W. Santrock dalam bukunya Psikologi Pendidikan, Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak-anak yang memiliki gangguan (ketidakmampuan) dan anak-anak yang tergolong berbakat. ABK yang dimaksud disini adalah anak-anak yang mengalami gangguan indra, fisik, bicara dan bahasa, perilaku dan emosional, retardasi mental, ketidakmampuan belajar, autisme, ADHD, dan anak berbakat (gifted).
Tantangan pendidikan ABK secara garis besar berasal dari tiga (3) komponen pendidikan itu sendiri, yaitu orang tua, penyelenggara pendidikan (dalam hal ini sekolah dan pemerintah) serta masyarakat.
1. Orang Tua (Keluarga ABK)
Masih banyak orang tua yang menganggap bahwa mempunyai ABK adalah sebuah aib atau hal yang memalukan bagi keluarga. Alih-alih memberikan pendidikan (intervensi) yang bisa membuat ABK hidup mandiri dan bersosialisasi dengan baik di masyarakat, orang tua lebih senang mengucilkan mereka dari dunia luar. Atau ada juga para orang tua yang sebenarnya sudah mempunyai kesadaran lebih baik mengenai kebutuhan ABK, mereka tidak malu dan mampu menerima kehadiran ABK dengan baik. Namun, sebagian dari mereka ternyata masih mengalami kendala dalam mengakses informasi yang tepat, sehingga tidak tahu pasti apa yang harus dilakukan. Perlakuan "khusus" dari keluarga dan orang-orang terdekat juga menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan pendidikan bagi ABK di rumah. Pola asuh yang menjadikan ABK sebagai obyek penderita yang perlu dikasihani dan dibantu terus menerus justru akan menghalangi ABK menjadi individu yang mandiri. Tujuan utama dari pendidikan ABK bukan untuk memaksa mereka menjadi sama seperti orang normal lainnya, tetapi menjadikan mereka sebagai individu mandiri yang bisa mengoptimalkan kelebihan yang dimiliki.
2. Penyelenggara Pendidikan (Sekolah dan Pemerintah)
Pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan punya power lebih untuk mewujudkan apa yang telah dituliskan dalam undang-undang. Seperti misalnya, meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana publik yang sesuai bagi ABK. Dalam jangka panjang, semestinya pemerintah bisa secara serius memberikan pembekalan bagi seluruh guru di Indonesia agar mempunyai kompetensi untuk menangani ABK. Dengan upaya tersebut, diharapkan jumlah sekolah inklusi di Indonesia semakin bertambah dari tahun ke tahun. Sebenarnya, cukup banyak orang yang tidak paham apa itu sekolah inklusi. Sekolah inklusi bukan sekolah luar biasa (SLB) atau sekedar sekolah yang menerima ABK. Sekolah inklusi pada dasarnya adalah sekolah yang menerima ABK dan memberikan mereka kesempatan belajar bersama-sama anak non-ABK dengan program pembelajaran yang telah disesuaikan dengan kemampuan individu masing-masing anak. Untuk mewujudkan sekolah inklusi yang sebenarnya, SDM di sekolah sebelumnya perlu disiapkan dengan baik, paradigma lama guru harus mulai diubah mengenai perlunya layanan yang berbeda bagi setiap anak. Guru dan sekolah harus paham betul apa yang dimaksud dengan Program Pembelajaran Individual (Individualized Educational Program).
3. Masyarakat
Kenyataannya masih banyak masyarakat di luar sana yang beranggapan bahwa ABK adalah "manusia aneh" yang menjadi obyek tontonan, bahan pembicaraan, bahkan obyek bully dan diskriminasi. Paradigma bahwa ABK adalah warga kelas dua masih melekat cukup kuat di masyarakat. Padahal, penerimaan masyarakat terhadap ABK mempunyai andil yang cukup besar dalam meningkatkan rasa percaya diri mereka. Masyarakat perlu memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada ABK untuk menunjukkan kelebihannya. Edukasi bagi masyarakat terkait dengan ABK saat ini masih diperlukan dan harus terus dilakukan. Tentunya mewujudkan masyarakat yang kondusif bagi ABK bukan hanya menjadi tugas pemerintah saja, namun keterlibatan aktif dari berbagai elemen masyarakat seperti komunitas, organisasi atau LSM yang peduli ABK mutlak dibutuhkan.
Sebenarnya hukum di Indonesia telah jelas mengatur mengenai pendidikan ABK yang dituangkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, baik yang memiliki kelaianan fisik, emosional, mental, intelektual atau sosial, berhak memperoleh pendidikan khusus. Namun tidak dapat dipungkiri dalam pelaksanaannya berbagai tantangan timbul, sehingga masih banyak ABK tidak berkesempatan untuk mengenyam pendidikan yang sejatinya menjadi hak mereka.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai tantangan pendidikan ABK, ada baiknya perlu kita bahas sekilas mengenai definisi ABK. Menurut John W. Santrock dalam bukunya Psikologi Pendidikan, Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak-anak yang memiliki gangguan (ketidakmampuan) dan anak-anak yang tergolong berbakat. ABK yang dimaksud disini adalah anak-anak yang mengalami gangguan indra, fisik, bicara dan bahasa, perilaku dan emosional, retardasi mental, ketidakmampuan belajar, autisme, ADHD, dan anak berbakat (gifted).
Tantangan pendidikan ABK secara garis besar berasal dari tiga (3) komponen pendidikan itu sendiri, yaitu orang tua, penyelenggara pendidikan (dalam hal ini sekolah dan pemerintah) serta masyarakat.
1. Orang Tua (Keluarga ABK)
Masih banyak orang tua yang menganggap bahwa mempunyai ABK adalah sebuah aib atau hal yang memalukan bagi keluarga. Alih-alih memberikan pendidikan (intervensi) yang bisa membuat ABK hidup mandiri dan bersosialisasi dengan baik di masyarakat, orang tua lebih senang mengucilkan mereka dari dunia luar. Atau ada juga para orang tua yang sebenarnya sudah mempunyai kesadaran lebih baik mengenai kebutuhan ABK, mereka tidak malu dan mampu menerima kehadiran ABK dengan baik. Namun, sebagian dari mereka ternyata masih mengalami kendala dalam mengakses informasi yang tepat, sehingga tidak tahu pasti apa yang harus dilakukan. Perlakuan "khusus" dari keluarga dan orang-orang terdekat juga menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan pendidikan bagi ABK di rumah. Pola asuh yang menjadikan ABK sebagai obyek penderita yang perlu dikasihani dan dibantu terus menerus justru akan menghalangi ABK menjadi individu yang mandiri. Tujuan utama dari pendidikan ABK bukan untuk memaksa mereka menjadi sama seperti orang normal lainnya, tetapi menjadikan mereka sebagai individu mandiri yang bisa mengoptimalkan kelebihan yang dimiliki.
2. Penyelenggara Pendidikan (Sekolah dan Pemerintah)
Pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan punya power lebih untuk mewujudkan apa yang telah dituliskan dalam undang-undang. Seperti misalnya, meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana publik yang sesuai bagi ABK. Dalam jangka panjang, semestinya pemerintah bisa secara serius memberikan pembekalan bagi seluruh guru di Indonesia agar mempunyai kompetensi untuk menangani ABK. Dengan upaya tersebut, diharapkan jumlah sekolah inklusi di Indonesia semakin bertambah dari tahun ke tahun. Sebenarnya, cukup banyak orang yang tidak paham apa itu sekolah inklusi. Sekolah inklusi bukan sekolah luar biasa (SLB) atau sekedar sekolah yang menerima ABK. Sekolah inklusi pada dasarnya adalah sekolah yang menerima ABK dan memberikan mereka kesempatan belajar bersama-sama anak non-ABK dengan program pembelajaran yang telah disesuaikan dengan kemampuan individu masing-masing anak. Untuk mewujudkan sekolah inklusi yang sebenarnya, SDM di sekolah sebelumnya perlu disiapkan dengan baik, paradigma lama guru harus mulai diubah mengenai perlunya layanan yang berbeda bagi setiap anak. Guru dan sekolah harus paham betul apa yang dimaksud dengan Program Pembelajaran Individual (Individualized Educational Program).
3. Masyarakat
Kenyataannya masih banyak masyarakat di luar sana yang beranggapan bahwa ABK adalah "manusia aneh" yang menjadi obyek tontonan, bahan pembicaraan, bahkan obyek bully dan diskriminasi. Paradigma bahwa ABK adalah warga kelas dua masih melekat cukup kuat di masyarakat. Padahal, penerimaan masyarakat terhadap ABK mempunyai andil yang cukup besar dalam meningkatkan rasa percaya diri mereka. Masyarakat perlu memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada ABK untuk menunjukkan kelebihannya. Edukasi bagi masyarakat terkait dengan ABK saat ini masih diperlukan dan harus terus dilakukan. Tentunya mewujudkan masyarakat yang kondusif bagi ABK bukan hanya menjadi tugas pemerintah saja, namun keterlibatan aktif dari berbagai elemen masyarakat seperti komunitas, organisasi atau LSM yang peduli ABK mutlak dibutuhkan.